Monday, December 5, 2011

sejarah perkembangan estetika

 Sejarah perkembangan yang dimaksudkan disini adalah estetika sebagaimana berkembang di dunia Barat. Sejarah estetika mencoba menelusuri kapan, di mana, dan bagaimana penyebarannya sejak Zaman Yunani kuno sehingga sampai kepada kita dalam masa kotemporer ini. Tentu dalam buku ini tidak bias dikemukakan masalah-masalah yang terjadi secarah detail mengingat keterbatasan literature, khususnya yang berkaitan dengan sastra. Alasan lain, sebagaimana dipahami oleh sebagaian sarjana adalah kenyataan bahwa masalah estetika pada umumnya lebih banyak dibicarakan dalam hubunganya dengan karya seni yang lain, seperti: seni rupa, seni arsitektur, seni tari dan seni desain.
2.1 Estetika sebagai Bagian Filsafat
            Estetika,seperti disinggung di atas dianggap sebagai bagian dari filsafat. Secarah etimologi filsafat berasal dari bahasa Yunani,yaitu philosophia,dari akar kata philia atau  philein berarti mencintai dan Sophia yang berarti kearifan. Jadi, filsafat berarti cinta terhadap kearifan. Para filsuf Yunani yang mula-mula, seperti: Thales, Anaximandros dan Anaximenes, pada umumnya hidup di Asia Kecil yang subur, di kota Miletos. Masalah-masalah yang mereka Gumuli adalah terjadinya alam semesta. Meskipun demikian, pada umumnya Pythagoras-lah yang dianggap filsuf pertama yang menggunakan kata filsafat, pada saat ia menyebut dirinya sebagai seorang philosophos. Oleh karena itulah, menurut Cicero, filsuf Romawi, filsafat disebut sebagai ibu semua seni(the mother of all art), atau menurut Francis Bacon, filsuf Inggris, filsafat merupakan induk semua ilmu pengetahuan,
            Dismping mempermasalahkan asal-usulnya, para filsuf juga tertarik pada aspek lain, yaitu, keindahan. Lahirlah filsafat estetika. Maslah-masalah kefilsafatan lebih banyak melibatkan intelektualitas, sebaliknya,masalah-masalah keindahan lebih banyak melibatkan emosionaltas. Banyak klasifikasi dalam kaitanya dengan kedudukan estetika dalam filsafat.salah satu diantaranya sebagaimana dikemukakan oleh lewis yaitu: metafisika, epistemology, logika, etika dan estetika.
            Metafisika mempermasalahkan keberadaan eksistensi Tuhan, manusia, alam semesta, realitas, dan sebagainya. Misalnya, apakah alam semesta tersebut merupakan relitas atau semata-mata ide. Epistemology mempertanyakan sumber dan batas-batas pengetahuan manusia, misalnya apakah sumber pengetahuan manusia tersebut berupa akal ataukah indera. Logika mempermasalahkan mengenai daya nalar, asas untuk  mencapai kesimpulan yang paling tepat. Etika berhubungan dengan perilaku yang paling tepat. Etika berhubungan dengan perilaku manusia, dengan moral, misalnya, ukuran bagi perbuatan yang dikategorikan baik.
            Melalui penjelasan di atas, maka estetika dikatakan sebagai memiliki dua wilayah pemahaman, yaitu: a) estetika tradisional, estetika itu sendiri yang disebut sebagai estetika filsafat, dan b) estetika modern, estetika ilmiah yang meliputi pemahaman intelektual yang melibatkan ilmu bantu yang relevan. Secara historis, seperti di atas, baru pertengahan abad ke-18, melalui tulisan baumgarten filsafat keindahan menjadi estetika ilmiah sebagai ilmu yang mandiri.
2.2 Estetika sebagai Disiplin Mandiri
            Karya seni dalam hubungan ini dianggap bermutu rendah sebab merupakan mimesis, tiruan dari tiruan. Karya seni sebagai subordinasi kenyataan. Dalam hubungan inilah tampil Aristoteles khususnya dalam bukunya yang berjudul poetica, yang kemudian menjadi nama cabang ilmu sastra, sebagai mediator sekaligus mengembalikan fungsi karya seni dalam kehidupan manusia.
            Menurut Aristoteles  karya seni tidak bermutu rendah sebab berfungsi sebagai khatarsis(penyucian) lebih dari itu karya seni memiliki misi yang jauh lebih tinggi, membentuk dunianya sendiri sehingga mengatasi kenyataan tersebut. sebagai perdebabatan yang diilhami oleh konsep imitation dan creatio Aristoteles lebih jauh menjelaskan bahwa seniman memiliki kedudukan yang sangat mulia sebab dapat mengantarkan pembaca pada suatu pemahaman yang berbeda-beda. Dalam karya seni penafsiranlah yang domina sebab hanya karya seni yang memiliki cara-cara yang khas untuk memahami objek-objek, yang tidak dimiliki oleh ilmu yang lain.
            Dalam perkembangan berikutnya, konsep karya seni sebagai peniruan alam mulai ditinggalkan sekitar abad ke-18 dengan adanya pemahaman subjek creator sebagai pencipta mutlak. Salah seorang tokohnya adalah Jean Jacques Rousseau juga merupakan tokoh yang meletakkan dasar-dasar ilmu kemasyarakatan,bibit-bibit demokrasi dengan semboyan ‘liberte,egalite,fraternite’(kemerdekaan,persamaan,dan persaudaraan), yang kemudian memicu revolusi perancis tahun 1789. Dalam bidang pendidikan Rousseau menanamkan konsep pendidikan untuk kembali ke tengah alam. Pengaruh Rousseau terhadap para pengarang sangat besar seperti: D.H Lawrence (Lady Chatterley’s Lover), Johan Wolfgang von Goethe (Faust), dan William Wordsworth. Rousseau(ibid)menyimpulkan empat kedudukan subjek manusia, di antaranya: a) manusia bersifat otonom, hanya takluk pada hukum sendiri, sebagai individu manusia justru mewakili sifat universal, b) pada asalnya manusia tidak berdosa, masyarakatlah yang merusaknya, c) sebagai individu manusia memiliki pengalaman total, melalui imajinasinya ia berhasil untuk membanyangkan segala sesuatu d) manusia membenarkan dirinya sendiri, dengan menulis riwayat hidupnya ia dapat memecahkan masalah keselamatanya.
            Hadirnya subjek kreator yang otonom tidak mengurangi interdependensi antara seni dengan kenyataan. Roman modern justru mempermasalahkan kaitan tersebut secarah intens. Dua kelompok yang mempermasalahkan sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianutnya adalah kelompok strukturalis dan Marxis, termasuk kelompok peneliti sosiologi sastra. Kelompok pertama menganggap karya seni sebagai heterocosmos (dunia yang lain), sedangkan kelompok yang kedua menganggap karya seni sebagai dokumen social.
            Intensitas aspek estetika pada karya seni memiliki implikasi yang jauh lebih luas dengan pertimbangan bahwa karya seni merupakan hasil kreativitas manusia, dalam hubungan ini subjek creator. Artinya, peranan seniman di satu pihak, peranan penanggap di pihak yang lain pada gilirannya menampilkan hubungan yang lebih bermakna apabila dibandingkan dengan keindahan alam. Oleh karena itulah, dalam pengertian yang lebih luas estetika dikaitkan dengan karya seni yang berfungsi untuk meningkatkan kehidupan masyarakat. Aspek-aspek kehidupan alam dengan sendirinya merupakan manifestasi Sang Maha Pencipta, yang secarah keseluruhan justru merupakan teladan bagi para seniman.
            Atas dasar penemuan Baumgarten di atas, secara garis besar estetika di bagi menjadi dua periode, yaitu periode tradisional sejak Sokarates hingga Baumgarten, dan periode modern sejak Baumgarten hingga sekarang. Periode pertama juga disebut periode filsafati, estetika sebagai bagian filsafat, atau estetika analitis sebab semata-mata berfungsi untuk menguraikan. Permasalahan yang dikemukakan semata-mata berkaitan dengan ‘apa keindahan itu’. Periode yang kedua disebut periode ilmiah atau empiris, estetika sebagai disiplin yang mandiri, dengan permasalahan keindahan dalam kaitanya dengan disiplin yang lain, termasuk metode-metode yang menyertainya.

2.3 Estetika,Sastra,Kebudayaan dan Kajian Budaya
            Seni praktis, karya seni sebagai pengalaman, sangatmuda untuk di pahami. Tidak perlu pengorbanan apa pun untuk menikmati suatu pemandangan yang indah, warna bunga mawar yang sedang mekar, sinar matahari yang baru terbit pada pagi hari di ufuk timur, demikian juga wajah seorang gadis cantik termasuk komposisi ritmis sebuah sajak atau gaya bahasa sebuah novel. Sikap yang diperlukan adalah menyerahkan diri sepenuhnya, masuk ke dalam dunia yang secarah otonom disediakan oleh gejala kebudayaan tersebut. penikmat akan memperoleh suatu kualitas yang sam sekali baru yang dengan sendirinya berbeda dengan pengalaman sebelumnya. Kesulitan akan timbul apabila penikmat tersebut dipermasalahkan, seperti: bagaimana proses penikmat terjadi, aspek-aspek apa saja yang terlibat, dan dengan sendirinya teori mana yang digunakan untuk memecahkannya. Dalam hubungan ini pengalaman estetika sudah berubah menjadi pemahaman, penjelasan, dan intrepetasi tentang keindahan itu sendiri, baik dalam kitanya dengan karya sastra dan karya seni yang lain, maupun kebudayaan pada umumnya.
            Keindahan sangat dibutuhkan bagi kehidupan manusia, khususnya untuk keperluan rohani, sebagai kebtuhan emosionalitas. Keindahan adalah energy, memperbaharui dimensi-dimensi kejiwaan yang selama ini mengalami stagnasi dan gangguan sebagai akibat tidak terpenuhinya berbagai kehendak dalam kehidupan sehari-hari. Di samping manfaat praktis seperti di atas jelas diperlukan pemahaman yang lebih mendalam, kajian ilmiah, yang kemudian memerlukan teori dan metode. Pemahaman inilah yang memberikan ciri intelektualitas, konsep-konsep yang dapat digunakan untuk menampilkan aspek keindahan, dan dengan sendirinya secarah ilmiah.
            Dengan membedakan fakta-fakta kebudayaan menjadi tiga macam, yaitu artifac, socifact, dan mentifact, karya seni paling banyak dibicarakan dan merupakan bagian integral aspek akhir. Fakta mental dianggap sebagai lokus utama karya seni dengan alas an bahwa seluruh aspek keindahan di produksi dan pada gilirannya merupakan konsumsi psikologis. Benda-benda kebudayaan, begitu juga interaksi social, di samping berfungsi juga harus indah. Pakaian, rumah, dan kebutuhan sehari-hari yang lain bukan hanya dibuat supaya tahan panas dan hujan, tetapi juga untuk dinikmati.
            Hubungan antara estetika dengan aspek-aspek kebudayaan paling jelas dan paling banyak dibicarakan dalam karya seni.  Hakikat karya seni adalah keindahan. Dengan kalimat lain, tidak ada karya seni yang tidak mengandung unsur-unsur keindahan, oleh karena itu, timbul pendapat bahwa unsur-nusur keindahan dalam karya seni tidak perlu dipermasalahkan sebab karya seni pada dasarnya identik dengan keindahan itu sendiri. Di antara karya-karya seni yang lain, ciri khas karya sastra adalah manifestasinya sebagai model kedua sesudah bahasa, artinya, aspek-aspek keindahan karya sastra sebagian terbesar ditampilkan melalui medium bahasanya. Dalam karya sastra gaya bahasa memegang peranan yang sangat penting.
            Secarah fungsional sastra berhubungan dengan karya seni yang lain, berhubungan juga dengan agama, mitos, filsafat, ilmu pengetahuan, arsitektur, politik, ekonomi dan sebagainya. Tetapi karya sastra tetap harus dipahami sesuai dengan hakikatnya. Semata-mata dengan memahami hubungan secarah fungsionallah kebudayaan berkembang secarah terus-menerus dan dengan demikian aspek estetis dapat dipahami. Dalam skala yang besar kebudayaan India dan sastra sanksekerta berkembang di Jawa, lahir dalam bentuk sastra Jawa kuno.
            Evolusi estetika satra sangat panjang. Estetika sebagai bagian aktivitas manusia untuk menangkap kebesaran sang pencipta, tentu tidak bias dijelaskan secarah keseluruhan. Memberikan pemahaman dengan cara menunjukkan periode tertentu yang di anggap relevan, dianggapsudah memedai. Periode yang terpenting adalah bagaimana masa prasejarah umat manusia berakhir dengan ditemukan aksara di lemba Sungai Mesotopomia sekitar 3.500 tahun SM, dilanjutkan dengan teknologi pertama mesin cetak oleh Cuttenberg abad ke-15 yang kemudian di akhiri dengan berbagai penemuan teknologi modern, khususnya computer pada abadke-20.
            Para seniman adalah subjek terpenting yang yang meresepsikan kebesaran Tuhan dalam bentuk keindahan. Bagi seorang seniman, segala hasil ciptaan Tuhan dapat ditampilkan ciri-ciri keindahannya, yang kemudian di sajikan kepada masyarakat. Oleh karena itulah, baik dalam masyarakat lama maupun modern, seniman memperoleh penghargaan yang berbeda di bandingkan dengan anggota masyarakat yang lain, sesuai dengan kemampuannya. Arsitek menampilkannya melalui bangunan-bangunan yang indah, pelukis melalui lukisannya, komponis melalui susunan nada, kareografer malalui tarian, perancang mode melalui pakaian.
            Benar,kajian budaya adalah studi tentang kebudayaan, tetapi kajian budaya bukanlah antropologi, melainkan studi kebudayaan sebagaimana diformulasikan oleh madzab Birmingham. Makna kajian budaya dengan demikian adalah masalah bagaimana dan mengapa, bukan semata-mata interdisiplin, melainkan juga disebut antidisiplin, sebagai traveling culture. Secarah metodologis ia tidak memiliki dasar yang stabil, melainkan pragmatis, strategis, ambigu, bahkan bersifat bricolage. Estetika dengan demikian bukan apa itu estetika seperti modernism, melainkan bagaimana ia berfungsi. Sebuah rumah dikatakan indah oleh karena ia berfungsi bagi penghuni, bagi orang-orang disekitarnya. Emas dikatakan indah dan bernilai tinggi selama digunakan dan dihargai juga oleh orang lain. Dalam kajian postmodernisme, dan dengan demikian dalam kajian budaya, harus ada keseimbangan antara hakikat dan manfaat dengan lebih menekankan pada manfaat.

No comments:

Post a Comment