Dalam pengertian sehari-hari, lokus objek dibatasi oleh ruang dan waktu. Untuk menilai sebuah kursi, misalnya, maka benda tersebut terlebih dahulu harus dibuktikan keberadaanya secarah factual. Ilmu social khusunya ilmu kealaman didominasi oleh sudut pandang. Pemahaman dan paradigma penelitian seperti diatas. Karya sastra, demikian juga karya-karya seni yang lain tentu tidak bias memanfaatkan cara-cara tersebut. secarah definitive karya sastra sudah menyarankan suatu rekaan, bahkan khayalan, yang dengan sendirinya sangat jauh dari kualitas objectivitas sebagaimana dimaksudkan dalam ilmu nomotetis.
6.1 Respons Estetis
Teori S-R dimanfaatkan sebagai awal penerimaan subjek terhadap berbagai rangsangan dari luar. Menurut Mead, respon bukanlah gerak reflex, bukan semata-mata kontraksi otot, melainkan suatu proses pencapaian yang lebih tinggi menuju ke saraf otak. Seperti diketahui keseluruhan aspekestetis, khususnya dalam kaitannya dengan peranan subjek penikmat, pada dasarnya dianggap sebagai gejala psikologi. Reaksi-reaksi sebagaimana diterima oleh psikelah yang kemudian merupakan awal terjadinya aspek-aspek estetis. Tanpa kemauan subjek dalam menerima rangsangan, maka kualitas estetis tidak akan terjadi.
Respons estetis dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: a)respon seniman terhadap alam sekitarnya, b) respon masyarakat terhadap karya seni yang dihasilkan oleh seniman yang tadi, dan c) respons masyarakat secarah keseluruhan terhadap alam sekitarnya. Respon pertama, sebagaimana akan dijelaskan pada proses kreatif, menjelaskan bagaimana seniman, baik secarah individual maupun dalam bentuk konstruksi transindividual menanggapi kejadian-kejadian. Yang ada disekitarnya menjadi tema-tema tertentu dalam proses kreatif.
Sebagai anggota masyarakat yang bertanggung jawab terhadap kebesaran ciptaan tuhan, maka karya yang dihasilkan jelas bermutu tinggi sehingga proses penyebarannya melewati ruang dan waktu. Suprakarya, karya pemenang Hadiah Nobel, termasuk pemenang sastra Nasional dan Regional, adalah hasil cipta sastra yang merupakan pertanggungjawaban penulis sebagai anggota masyarakat. Karya-karya sastra sperti inilah yang akan menjadi barometer perkembangan suatu masyarakat. Artinya pembaca yang sudah dapat menghargai keberadaan sastranyalah yang dianggap sebagai masyarakat berkembang dengan kemajuan ekonomi dan politik. Dengan kalimat lain, masyarakat sastra dicapai sesudah melewati tahapn-tahapan kepentingan masyarakat yang lain, sastra sebagi superstruktur ideologis.
6.2 Kualitas Estetis
Dalam filsafat ilmu pada umumnya dikenal tiga landasan utama yaitu Ontologi, Epistomologi, dan Aksiologi. Secarah Etimologi Ontologi berasal dari bahasa Yunani (Onta + Logos= ilmu tentang ada), epistemology (episteme + logos = ilmu tentang ilmu pengetahuan), aksiologi (axios + logos = ilmu tentang nilai, harga). Sebagi istilah menurut Runes, ontology telah digunakan Aristoteles. Dimasukkan dalam filsafat modern oleh Wolf, epistemology mula-mula digunakan oleh J.F. Ferrier untuk membedakan dua cabang filsafat, yaitu ontology dan epistemology itu sendiri. Aksiologi telah digunakan oleh plato dan Aristoteles, tetapi secarah sitematis diperkenalkan oleh Alexius von Meinong, artinya dalam semua ilmu pengetahuan terkandung ketiga landasan tersebut.
Sejak awal, dengan melihat proposisi Plato dan Aristoteles seperti telah disinggung di muka keindahan pada umumnya memiliki ciri-ciri teratur, simetris, dan proporsional. Meskipun demikian, banyak factor yang memengaruhi dalam rangka menentukan nilai. Estetika, etika, dan hukum, demikian juga berbagai sistem aturan yang lain jelas bersifat social, memiliki kaitan erat dengan masyarkat di mana objek berada. Oleh karena itulah unsur-unsur yang terkandung dalam karya tidak bias dinilai secarah langsung dan dilakukan secara bersama-sama. Penilaian dilakukan dengan terlebih dahulu mengembalikan dan menyesuaikan dengan kompetensi masyarakat yang menhasilkannya, seperti: situasi dan kondisi, hakikat dan manfaat, ruang dan waktu, objek yang dinilai dan subjek yang menilai. Dalam pengaturan tata ruang misalnya, mungkin tidak selalu harus memenuhi syarat-syarat simetris. Artinya pada ruang dan waktu yang berbeda juga diperlukan unsur yang simetris. Oleh karena itu pulalah, timbul perbedaan antara nilai objektif dan subjektif, intrinsic dan ekstrinsik, positif dan negative, nilai local dan universal.
Masalah yang sering timbul dalam penelitian adalah kesulitan dalam memberikan batas antara nilai estetis itu sendiri dengan nilai-nilai lain, khususnya nilai etika. Pada umumnya, nilai etikalah yang sering ditonjolkan dengan alasan bahwa aspek-aspek etika memang lebih mudah untuk dideteksi. Alasan ini pulalah yang dianggap sebagai salah satu sebab mengapa estetika lebih bnyak dibicarakan dalam seni nonsatra. Dalam seni terakhir disebut, sebagai seni presentasional, kualitas estetis dapat diamati secarah langsung dan dengan sendirinya secarah jelas. Benar dalam gaya bahasa terkandung unsur-unsur keindahan dengan berbagai bentuknya, tetapi perlu disadari bahwa untuk memahami gaya bahasa, diperlukan pemahaman dasar-dasar stilistika sastra yang sngat beragam.
Pada umumnya kesulitan timbul dalam mengidentifikasikualitas estetis karya sastra nonpuisi, seperti cerita rekaan. Seperti diketahui, cerita rekaan pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan karya ilmiah. Dengna menghilangkan judulnya, misalnya , Novel Para Priyai sulit untuk dibedakan dengan perkembangan Peradaban Priyai. Pada dasarnya unsur-unsur novel Para Priyai adalah narasi yang disusun sedemikian rupa, hamper sama dengan seorang sejarawan, sosiolog, dan antropolog dalam melukiskan kehidupan para priyai Jawa.
5.3 Lokus Nilai-nilai Estetika
Berbeda dengan fakta empiris, yang dapat dideteksi secarah nyata letak objeknya, sebagai kualitas lomus fakta-fakta estetis tidak dapat ditentukan secarah factual. Artinya, untuk mengetahui keberadaanya diperlukan pemahaman, pradigma, sudut pandang, bahkan logika yang berkaitan dengan hakikat objek dan dengan demikian hakikat nilai-nilai estetis itu sendiri. Dengan kalimat lain, menentukan lokus tersebut pada dasarnya sudah termasuk proses penilitian yang harus dipecahkan secara filosofis. Justru masalah ini memerlukan masalah yang sngat mendasar dalam estetika. Artinya sejak awal pertumbuhannya sampai sekarang masalah mengenai lokus estetika merupakan perdebatan yang tidak pernah selesai.
Dikaitkan dengan adanya dua komponen yang berperanan, yaitu objek estetika dan subjek yang menikmatinya, maka pertanyaan yang timbul adalah dimanakah sesungguhnya lokus keindahan tersebut. apakah pada objek yang dinikmati atau pada subjek yang menikmatinya. Sudut pandang inilah yang pada gilirannya menimbulkan adanya dua pendapat, yaitu: a) kelompok objektif yanh mengatakan bahwa kualitas estetis terkandung dalam benda sebagai objek, dan b) kelompok subjektif yang mengatakan bahwa kualitas terkandung dalam diri, dalam fikiran subjek yang mengamatinya.
Secarah historis teori objektif kekuasaan selama hampit 22 abad, sejak abad ke-5 SM hingga abad ke-17, sejak Sokarates, Plato, Aristoteles, dan Hegel, sehingga Bernard Bosanquet. Teori subjektif berkembang sejak abad ke-18 yang dimotivasi oleh filsafat empirisme dan romantic. Bagi kedua kelompok tersebut keindahan semata-mata merupakan kesan secara individual, yang terjadi dalam pikiran pengamat yang dengan sendirinya bersifat berbeda-beda, subjektif dan relative.
6.4 Pengalamna Estetis
Menurut ahli psikologi social Mead yang dimaksud dengan pengalaman estetis adalah kemampuan untuk mengungkapkan keindahan. Wellek dan waren menyebutnya sebagai kontemplasi, dengan musuh utamanya adalah tujuan-tujuan praktis. Dengan kemampuan yang dimaksudkan sebagai aktivitas dinamis subjek dalam merespon objek. Lebih jauh menurut gadamer pengalaman estetis merupakan keasyikan membaca dalam aktivitas membaca dengan cara menangguhkan dengan sengaja sebagai tujuan praktis. Pengalaman tidaklah dilakukan secarah pasif sebagaimana dengan sebelumnya.
Seperti disinggung di atas, pengalaman estetis sering disamakan dengan respons atau tanggapan estetis. Teori mengenai pengalaman estetis pertamakali dikemukakan oleh Friedrich T. Vischer, yang digunakan adalah einjuhlung, yang diartikan sebagai merasakan diri sendiri kedalam sesuatu.
Visi strukturalisme semiotic memberikan dasar-dasar yang kuat terhadap pengalaman estetis. Peranan unsur-unsur dalam karya seni, intensitas antarhubungan baik antara unsur yang satu dengan yang lain, maupun antara unsur-unsur tersebut dengan totalitasnya, menawarkan pemahaman signifikan terhadap kualitas estetis karya. Sifat unsur-unsur yang dinamis, terjadinya mekanisme antar hubungan yang tidak pernah berhenti,baik sebagai akibat gejala intrinsik yang terjadi dalam karya seni itu sendiri, maupun sebagai akibat gejala ekstrinsik melalui pengaruh langsung struktur social, jelas menampilkan kualitas estetis yang sangat kaya. Strukturalisme semiotic mengevokasi kualitas estetis sehingga tampak baru.
6.5 Jarak Estetis
Pengalaman estetis dengan jarak estetis seolah-olah menampilkan ciri-ciri yang bertentangan. Di satu pihak, telah disinggng, pengalaman estetis merupakan proses keterlibatkan secarah intens antara subjek dengan objek. Pada umumnya, pengalaman estetis melibatkan daya empati, peleburan perasaan secara mendalam terhadap objek yang dihayati. Sebaliknya, menurut pemahaman teori jarak estetis, untuk menampilkan kualitas estetis karya seni maka subjek harus menciptakan jarak. Teori jarak estetis diadopsi melalui bidang psikologi, yaitu teori jarak psikologis yang dikembangkan oleh Edward Buliogh.
jarak estetis juga tercipta melalui hubungan antara objek dengan subjek, objektivitas karya dengan subjektivitas pengamat. Pengalaman estetis tercipta apabila subjek berhasil untuk mempertahankan eksistensinya sebagai actor yang terlibat tetapi dalam kerangka intersubjektif. Bentuk-bentuk hubungan karya dengan subjek merupakan dialog, bukan penilaian atau penghakiman.
Mekanisme yang sama juga terjadi dalam proses memahami sesuatu karya seni. Dengan memberikan hak istimewa terhadap eksistensi totalitas karya, konsekuensi yang harus diterima, subjek pengamat mesti memberikan tempat seluas-luasnya terhadap gravitasi unsurnya, masuk kedalam kerangka intersubjektif. Karya seni pada gilirannya dinilai bukan atas dasar pengetahuan teoritis siap pakai yang tersedia dalam diri subjek pengamat, sebaliknya, subjek pengamatlah yang lebih banyak menyesuaikan diri terhadap kompetisi karya tersebut. dengan kalimat lain, kualitas estetis timbul bukan dengan memandang karya sebagai objek yang pasif, tetapi subjek yang aktif. Oleh karena itulah, kekhasan karya seni terjadi sebagai akibat selalu diciptakan kembali, pada setiap saat terjadinya pertemuan dengan subjek. Kualitas estetis terjadi dan dengan demikian selalui diperbaharui kembali pada setiap terjadinya dialog tersebut.
No comments:
Post a Comment